Kamis, 19 Mei 2016

Esensi Ilmu Sastra



ESENSI ILMU SASTRA





DISUSUN

NAMA        : WIDIA ASTUTI
NIM            : 1551040038
KELAS       : PBSI C

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2015/2016



A.      Pengertian Ilmu Sastra
Berbagai pengertian ilmu sastra telah dirumuskan secara sederhana dan luas oleh pakar sastra. Pengertian ilmu sastra secara sederhana dan luas itu dapat ditemukan dalam beberapa buku baik kamus, ensiklopedia maupun referensi sastra.
Istilah ilmu sastra dalam bahasa Inggris general literature atau  literary study. Di Indonesia istilah ilmu sastra dipadankan dengan studi sastra, kajian sastra, pengkajian sastra, telaah sastra.
Dalam Pengantar Ilmu Sastra: Teori Sastra, Badrun berpengertian bahwa ilmu sastra ilmu yang menyelidiki sastra secara ilmiah. Ilmu sastra menyelidiki karya sastra secara ilmiah (1983: 11).
Dalam Kamus Istilah Sastra Indonesia, Eddy berpengertian bahwa ilmu sastra segala bentuk dan cara pendekatan terhadap karya sastra dan gejala sastra (1991: 96). Dalam Kamus Sastra, Eneste berpengertian bahwa ilmu sastra adalah bidang keilmuan yang obyek utamanya karya sastra (1994: 47). Dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia, Hasanuddin mengemukakan bahwa ilmu sastra dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah general literature meliputi semua pendekatan ilmiah terhadap gejala sastra.
Dalam 9 Jawaban Sastra Indonesia, Mahayana berpengertian bahwa ilmu sastra ilmu yang menyelidiki kesusastraan dengan berbagai masalahnya secara ilmiah (2003: 223). Ilmu sastra adalah ilmu yang mempelajari karya sastra (2005 : 347). Dalam Wikipedia Bahasa Indonesia, Ilmu sastra adalah ilmu yang menyelidiki tentang karya sastra secara ilmiah dengan berbagai gejala dan masalah sastra. Sedangkan, sastra adalah lembaga social yang menggunakan bahasa sebagai medium, dan bahasa itu sendiri merupakan ciptaan social.
Demikian perumusan pengertian ilmu sastra secara sederhana, yaitu ilmu yang menyelidiki karya sastra secara ilmiah dengan berbagai gejala dan masalah sastra. Pengertian ilmu sastra secara luas dibeberkan di bawah.
Dalam Pemandu di Dunia Sastra, Hartoko dan Rahmanto menuliskan pengertian sastra sebagai berikut. Ilmu sastra dalam bahasa Inggris general literature, meliputi semua pendekatan ilmiah terhadap gejala sastra. Obyek ilmu sastra adalah unsur kesastraan yang menyebabkan sebuah ungkapan bahasa termasuk sastra. Di samping unsur-unsur bahasa (struktur, gaya, fungsi politik) faktor-faktor historiko pragmatik dan psikososial. Juga memainkan peranan (misalnya unsur rekaan dalam komunikasi bahasa, perkembangan antara pengertian sastra dan sebagainya).
Dalam Pengantar Ilmu Sastra, Luxemburg dkk mengurai tentang ilmu sastra. Ilmu sastra meneliti sifat-sifat yang terdapat di dalam teks-teks sastra, lagi bagaimana teks-teks tersebut berfungsi dalam masyarakat (1989: 2).
Ilmu sastra umum merupakan sebuah telaah sistematik mengenai sastra dan komunikasi sastra yang pada prinsipnya tidak menghiraukan batas-batas antarbangsa dan antarkebudayaan (1989: 2).
Dari berbagai uraian pengertian di atas rumusan ilmu sastra sebagai berikut.
1.      Ilmu sastra ilmu yang menyelidiki sastra secara ilmiah.
2.      Ilmu sastra ilmu yang menyelidiki karya sastra secara ilmiah.
3.      Ilmu sastra segala bentuk dan cara pendekatan ilmiah terhadap karya sastra dan gejala sastra.
4.      Ilmu sastra sebuah telaah sistematis mengenai sastra dan komunikasi sastra yang pada prinsipnya tidak menghiraukan batas-batas antarbangsa dan antarkebudayaan.

B.       Sejarah Ilmu Sastra
Sastra sebagai ilmu masih sering diperdebatkan. Keberatan yang pernah diajukan kepada ilmu sastra umum karena tidak ada perhatian yang bersifat individual, untuk karya sastra sebagai sebuah karya seni yang unik. “Katanya, ilmu sastra hanya mau mencari skema-skema bagaimana menceritakan suatu konvensi dalam puisi serta modul-modul komunikasi tanpa menghiraukan cerita atau puisi yang satu-satunya itu, yang tak dapat diganti oleh sebuah cerita atau puisi lain. Tidak menyingung persoalan, karena setiap ilmuwan  sastra berusaha merumuskan pengertian-pengertian umum. Ia ingin tahu sifat-sifat yang merupakan ciri khas bagi semua karya sastra ataupun sekelompok karya sastra, lagipula kaidah-kaidah serta konvensi secara khusus berlaku bila kita menghadapi teks - teks sastra, Luxemburg, dkk (1989: 2 – 3).
Penolakan terhadap keberatan menyatakan ilmu sastra tidak hanya menekuni ilmu sastra tidak hanya menekuni kaidahkaidah, sistem-sistem serta modul-modul. Seorang peneliti sastra yang ada minat terhadap sejarah sastra tidak hanya memerhatikan sistem-sistem dan perkembangan sastra. Ia (juga akan memerhatikan ciri-ciri khas yang terdapat dalam karya karya sastra masing-masing, (Luxemburg, dkk 1989:3).
Penolakan sastra sebagai ilmu juga diungkapkan oleh Wellek dan Warren. Mereka berpendapat bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sedangkan studi/ilmu sastra adalah cabang ilmu pengetahuan. Akan tetapi sejumlah teoretisi menolak mentah-mentah bahwa telaah sastra adalah ilmu (1989: 3).Selain dari teoretisi sastra, pakar ilmu alam berpendapat bahwa ilmu sastra tidak mampu mencapai taraf ilmiah karena dalam kenyataannya ilmu sastra hanya mengimpor dasar-dasar ilmiah dari bidang lain. Misalnya sosiologi, psikologi, tanpa memahami bahwa ilmu sastra dapat ditemukan dalam sastra.
Teoritikus yang mentah-mentah menolak bahwa sastra mempunyai sejarah, W.P. Ker mencoba membuktikan, misalnya, bahwa kita tidak membutuhkan sejarah sastra, karena objek-objek sastra selalu ada, bersifat “abadi”, dan karenanya tidak mempunyai sejarah sama sekali. T.S. Eliot juga membantah adanya “masa lampau” dari suatu karya sastra.
Pendapat lainnya bahwa dalam memahami sastra, orang hanya memotong-motong sastra dari sudut ilmu lain. Pendapat lain lagi, bahwa sastra dianggap tidak ilmiah karena cara pemahaman sastra dianggap identik dengan omongan bertele-teletanpa konsep yang jelas.
Keraguan terhadap keilmuan sastra masih juga bergaung sampai sekarang. Hal ini tidak hanya di Universitas Amerika dan Inggris tetapi juga di Universitas Negara lain, termasuk Indonesia.
Sastra dinyatakan tidak ilmiah karena kurang konsisten, kurang percaya diri, sehingga tidak menghasilkan konsep yang jelas. Budi Darma (1990: 338, 343), berpendapat kelemahan sastra sebagai ilmu di Indonesia disebabkan oleh dominasi studi kebahasaan. Demikian juga para sarjana sastra Indonesia kurang banyak membaca dan cenderung menerima segala sesuatu secara langsung lugas dan jelas, tanpa pertimbangan dan evaluasi yang cermat.
Berdasarkan keraguan terhadap sastra sebagai ilmu di atas, akademisi sastra tidak membiarkan terus berlangsung. Mereka menyusun dan merumuskan sastra sebagai ilmu yang sejajar dengan ilmu lainnya.
Sastra sebagai bidang kajian ilmiah baru dimulai pada abad 19. Para ilmuwan sastra menginginkan agar pendekatan terhadap kegiatan manusia yang bernama sastra dapat dilakukan secara ilmiah. Dengan demikian sastra berdiri sendiri sebagai satu bidang ilmu yang eksis.
Sastra sebagai salah satu bidang ilmu berbeda dengan ilmu lainnya. Perbedaannya pada perhatian, pada penghayatan, bukan pada kognisi. “Obyek ilmu sastra adalah kehidupan manusia yang sudah terabstraksikan dalam karya sastra” (Budi Darma, 1990: 338). Oleh karena itu dalam ilmu sastra, karya sastra sebagai obyek utama kajian memiliki karakteristik khas yang berbeda dengan obyek-obyek kajian ilmu lainnya.
Kepekaan yang  tinggi dituntut dalam ilmu sastra. Kepekaan tidak dapat diartikan, diformalasikan dengan jelas. Keilmiahan ilmu sastra tidak eksplisit, tetapi implisit. Oleh karena  itu, ilmu sastra mampu membuktikan diri sebagai kajian ilmiah. Di dalamnya terdapat unsur  fakta/data, inferensi atau simpulan dan pendapat/judgement.
Selain itu langsung atau tidak ilmu sastra selalu mengedepankan inkuiri, masalah, hipotesis terselubung dan jawaban terhadap inkuiri, masalah serta pembuktian terhadap hipotesis terselubung (Darma, 1990:342). Tahap-tahap dalam ilmu sastra tidak berjenjang secara hierarkis seperti dalam ilmu pada umumnya (dari pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan terakhir evaluasi), tetapi lebih bersifat melebar.
Tidak berat ilmu sastra adalah pada esensi karya sastra. Oleh karena itu, keilmiahan studi sastra memiliki sifat tersendiri. Dengan demikian ilmu sastra memiliki keilmiahan sendiri
1.        Ruang Lingkup Ilmu Sastra
Cabang-cabang ilmu sastra dapat dibedakan menurut sifat dan lingkup sebuah obyek serta sifat metode (kognitif, cara pengetahuan) yang digunakan. Mengenai cara pengetahuan dapat dibedakan ilmu sastra teoretis dan terapan, yaitu teori sastra (juga disebut ilmu sastra umum) dan pengkajian teks. Mengenai sifat dan obyek yang diteliti dapat dibedakan kritik sastra (yang meneliti sastra teks) dan sejarah sastra serta ilmu sastra perbandingan (1985: 125).
Bidang-bidang ilmu sastra:
1.      Teori
2.      Sejarah
3.      Kritik
Penjelasannya:
1.      Teori
Pengertian teori sastra secara umum, yang dimaksudkan dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menetapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati. Teori berisi konsep/uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu. Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan dicek kebenarannya (diverifikasi) atau dibantah kesahihannya (difalsifikasi) pada objek atau gejala-gejala yang diamati tersebut. Teori sastra jelas membutuhkan kritik sastra, misalnya untuk menyusun teori tentang gaya, teknik bercerita, dan misalnya untuk menyusun teori tentang angkatan, aliran, dan sebagainya perlu melihat perkembangan sastra secara keseluruhan.
2.      Sejarah sastra
Pengertian sejarah menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yg benar-benar terjadi di masa lampau. Atau menurut catatan perkuliahan yang saya ikuti, pengertian sejarah yaitu cabang ilmu sastra yang berusaha menyelidiki perkembangan sastra sejak awal pertumbuhannya sampai pada perkembangan sastra saat ini. Cabang-cabang yang ada dalam ilmu sastra yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Teori sastra merupakan bagian yang membahas hakikat dan pengertian sastra, sedangkan kritik sastra adalah ilmu sastra yang menyelidiki karya sastra secara langsung. Berikut ini saya gambarkan relasi ketiganya.
Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa tertentu, para sastrawan yang mengisi arena sastra, puncak-puncak karya sastra yang menghiasi dunia sastra, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar masalah sastra. Sebagai suatu kegiatan keilmuan sastra, seorang sejarawan sastra harus mendokumentasikan karya sastra berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang ada, pengaruh yang melatarbelakanginya, karakteristik isi dan tematik.
Hubungan Teori Sastra Dengan Kritik Sastra dan Sejarah Sastra pada dasarnya teori sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat didalam karya sastra, baik konvensi bahasa yang meliputi makna, gaya, struktur, pilihan kata, maupun konvensi sastra yang meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar, dan lainnya yang membangun keutuhan sebuah karya sastra. Kritik sastra merupakan ilmu sastra yang mengkaji, menelaah, mengulas, memberi pertimbangan, serta memberikan penilaian tentang keunggulan dan kelemahan atau kekurangan karya sastra. Sejarah sastra adalah bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu, periode ke periode sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa. Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa, suatu daerah, suatu kebudayaan, diperoleh dari penelitian karya sastra yang dihasilkan para peneliti sastra yang menunjukkan terjadinya perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan karya sastra pada periode-periode tertentu. Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra terjalin keterkaitan.
Hubungan timbal-balik antara teori sastra dengan sejarah sastra:
a.       Teori sastra muncul karena telah diadakan penyelidikan terhadap sastra (sejarah sastra).
b.      Teori sastra diperlukan untuk mengonfirmasi tentang sejarah sastra.
c.       Sejarah sastra memerlukan teori sastra dalam perjalanannya.
d.      Teori sastra dapat berubang/berkembang sesuai dengan perubahan sejarah sastra/perjalanan dunia sastra.

Hubungan timbal-balik antara kritik sastra dengan sejarah sastra:
a.       Adanya kritikan terhadap sastra (karya sastra) mempengaruhi perjalanan sejarah sastra.
b.      Kritik sastra memerlukan bahan dari sejarah sastra.
c.       Perkembangan sejarah sastra tidak terlepas dari kritik sastra.
Hubungan antara teori sastra dengan kritik sastra:
Dengan bermodalkan teori sastra, kita dapat mengkritik suatu sastra (karya sastra).
Adanya kritikan terhadap sastra, dapat memengaruhi teori sastra. Mungkin berupa penambahan/pengurangan terhadap teori tertentu, atau dapat juga berupa konfirmasi terhadap teori sastra tertentu. 
Selanjutnya (Todorov; 1985: 61) mengatakan bahwa tugas sejarah sastra adalah:
a.       Meneliti keragaman setiap kategori sastra.
b.      Meneliti jenis karya sastra baik secara diakronis, maupun secara sinkronis.
c.       Menentukan kaidah keragaman peralihan sastra dari satu masa ke masa berikutnya.
Sejarah sastra yaitu cabang ilmu sastra yang menyelidiki sastra sejak terjadi timbulnya sampai perkembangannya yang terakhir. Perkembangan sejarah sastra terbagi menjadi dua yaitu:
2.      Sastra lama/melayu klasik
Sastra lama memiliki beberapa perkembangan yaitu:
a.       Zaman purba dengan adanya bukti berupa prasasti-prasasti.
b.      Zaman Hindu-Buddha menghasilkan sebuah karya sastra berupa khayalan dan dongeng.
c.       Zaman Islam terbukti dengan adanya karya sastra berupa hikayat yang menceritakan tentang kehidupan wali songo dan para ulama pada zaman itu.
d.      Zaman peralihan/realitas yang menceritakan sesuatu yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.


3.      Sastra baru/modern
Perkembangan sastra modern memiliki beberapa tingkat sebagai berikut:
a.       Angkatan 20 misalnya tradisi pada zaman Siti Nurbaya.
Disebut angkatan dua puluhan karena angkatan ini lahir padda tahun 1920-an dan disebut angkatan balai pustaka karena penerbit yang paling banyak menerbitkan adalah balai pustaka. Karya yang paling terkenal pada masa ini adalah Siti Nurbaya karangan Marah Rusli. Roman ini menceritakan tentang penjodohan yang masih banyak dilakukan pada masa itu. Beberapa karya sastra angkatan 1920-an adalah Azab dan Sengsara (roman, tahun 1920 oleh Miregi Siregar), Muda Teruna (roman, tahun 1922 oleh Moh. Kasim), Tak Putus Dirundung Malang (roman, tahun 1929 oleh S.T. Alisyahbana).
b.      Angkatan 30 (Pujangga Baru)
Angkatan ini adalah angkatan yang lahir pada sekitar tahun 1933 sampai 1942. Disebut angkatan pujangga baru karena pada tahun 1933 terdapat majalah sastra yang dikenal yaitu majalah Baroe. Karya-karya yang ditampilkan dalam majalah ini adalah puisi, cerpen, novel, roman, atau drama-drama pendek.
c.       Angkatan 45 dengan terbitnya karya sastra yang di populerkan dengan Chairil Anwar.
Nama lain angkatan ini adalah angkatan pembebasan dan angkatan Chairil Anwar. Disebut angkatan Chairil Anwar karena besarnya jasa Chairil Anwar dalam lahirnya angkatan ini. Karya-karya sastra angkatan ini sangat berbeda dengan angkatan sebelumnya. Ciri-cirinya antara lain adalah bebas, individualistis, realistik, dan futuristic. Karya yang terkenal dari angkatan ini adalah Dari Ave Maria-Jalan Lain ke Roma yang merupakan kumpulan cerpen karya Idrus.
d.      Angkatan 66 adanya balai pustaka, PKI.
Angkatan ini muncul pada saat keadaan politik Indonesia sedang kacau karena adanya gerakan terror dari PKI. Karya sastra pada angkatan ini lebih banyak bersifat protes terhadap keadaan yang kacau pada masa itu. Beberapa karya sastra yang lahir pada angkatan ini adalah kumpulan puisi oleh Taufik Ismail yang berjudul Tirani, drama karya Motinggo Busye dengan judul Malam Jahanam, roman berjudul Pagar Kawat Berduri oleh Toha Mohtar, roman Pelabuhan Hati karya Titis Basino, dan lain-lain.
e.       Angkatan 70 dan 80 tentang EYD.
Sekitar tahun 70-an, muncul karya sastra yang lain daripada karya sastra yang telah ada sebelumnya. Kebanyakan isinya tidak menekankan pada makna kata. Kemunculan karya sastra ini dipelopori oleh Sutardji Calzoum Bachri. Karya sastra ini disebut sastra kontenporer.
f.       Referensi hingga sekarang.
3.      Kritik sastra
Kritik sastra berasal dari kata “krites” (Yunani kuno) yang berarti hakim, dalam kritik sastra yang penting ialah analisis, dengan demikian kritik sastra merupakan kegiatan penilaian yang ditujukan pada karya sastra atau teks. Kritik Sastra juga bagian dari ilmu sastra. Istilah lain yang digunakan para pengkaji sastra ialah telaah sastra, kajian sastra, analisis sastra, dan penelitian sastra. Untuk membuat suatu kritik yang baik, diperlukan kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak dalam menelaah, menganalisis, mengulas karya sastra, penguasaan, dan pengalaman yang cukup dalam kehidupan yang bersifat nonliterer, serta tentunya penguasaan tentang teori sastra.
            Ada 2 jenis kritik sastra:
a.       Kritik sastra instrinsik: fokusnya pada karya sastra itu sendiri dan menganalisa unsure-unsur karya sastra itu.
b.      Kritik sastra ekstrinsik: menghubungkan karya sastra dengan hal-hal diluar karya sastra. Misalnya: menghubungkan karya sastra dengan pengarangnya, karya sastra.

4.        Objek Kajian Ilmu Sastra
Obyek ilmu sastra adalah kehidupan manusia yang sudah diabstraksikan dalam karya sastra (Budi Darma, 1990: 338). Oleh karena itu, obyek utama ilmu sastra adalah karya sastra. Karya sastra yang menjadi obyek ilmu sastra itu bersifat kreatif, imajinatif, intuitif, bertitik tolak pada penghayatan, berupa abstraksi kehidupan. Tanpa karya sastra tidak mungkin bicara ilmu sastra.
Karya sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkap diri tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta (Semi, 1993: 1). Karya sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat dan ilmu jiwa. Sastrawan dapat dikatakan sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan bukan dengan cara teknis akademik, melainkan melalui karya sastra.
Karya sastra adalah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, emosi. Karya sastra juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Karya sastra adalah hasil ekspresi individual penulisnya. Oleh karena itu kepribadian, emosi, dan kepercayaan penulis akan tertuang dalam karya sastranya.
Karya sastra adalah hasil proses kreatif. Karya sastra bukanlah hasil perkerjaan yang memerlukan keterampilan sesuatu seperti membuat sepatu, kursi atau meja. Karya sastra memerlukan perenungan, pengendapan ide, langkah tertentu yang berbeda antara sastrawan yang satu dengan sastrawan yang lain.
Karya sastra memiliki bentuk dan gaya yang khas. Kekhasan karya sastra berbeda dengan karya nonsastra. Kekhasan karya sastra harus dibedakan atas genre karya sastra, yaitu puisi, prosa dan drama.
Bahasa yang digunakan dalam karya sastra juga memiliki kekhasan. Bahasa dalam karya sastra telah mengalami penyimpangan, pemutarbalikan dari bahasa praktis sehari-hari. Bahasa yang sudah biasa dan dikenal diasingkan, disulap, digali dan diberi makna baru atau diberi penambahan muatan maknanya. Oleh sebab itu karya sastra dipandang sebagai wujud referensi wacana. Wacana sastra dipandang sebagai suatu pemakaian bahasa tertentu bukan sebagai ragam bahasa tertentu.
Karya sastra mempunyai logika tersendiri. Logika karya sastra erat berkaitan dengan konvensi karya sastra. Logika karya sastra mencakup isi dan bentuk karya sastra. Bentuk pantun setiap bait terdiri atas empat baris. Setiap baris terdiri atas empat kata atau 9 – 10 suku kata. Persajakan ab ab. Dari isinya baris satu dan dua hanya merupakan pengantar (sampiran), sedangkan isinya ada pada baris ketiga dan keempat. Semua itu merupakan logika puisi yang disebut  pantun. Berubah sedikit saja, berubah pula logikanya. Jika semua berupa isi maka disebut syair.
Dalam puisi ada yang tidak masuk akal jika menggunakan logika biasa. Tetapi masuk akal dalam logika puisi. Dalam logika biasa tidak mungkin lembaran daun berbunyi gemerincing apalagi seperti  lonceng katedral. Tetapi dalam logika puisi  lembaran daun berbunyi gemerincing seperti lonceng katedral justru logis. Dalam tersunyian, sedikit saja usikan akan terasa besar akibatnya hingga daun yang jatuh saja dirasakan berbunyi.
Hal yang sama juga ditemukan bila membaca novel Rafilus karya Budi Darma. Tokoh Rafilus digambarkan sebagai tokoh yang tubuhnya seperti terbuat dari besi tidak bisa mati, kebal peluru, atau seperti setan. Penggambaran tokoh rafilus yang demikian masuk akal dalam logika novel. Dalam kenyataan sehari-hari, hal itu tidak masuk akal. Dalam novel Rafilus diperlukan untuk menekankan tema novel. Oleh karena itu logika dalam karya sastra dinilai dalam kaitannya dengan penyajian karya sastra. Bukan dengan menggunakan ukuran logika di luar sastra. Sebab itu logika dalam karya sastra disebut logika internal.
Karya sastra merupakan dunia rekaan (fiksi). Kata fiksi mempunyai makna khayalan, impian, jenis karya sastra yang tidak berdasarkan kenyataan yang dapat dipertentangkan dengan nonfiksi (cerita berdasarkan kenyataan). Dalam kenyataannya, karya sastra bukan hanya berdasarkan khayalan, melainkan gabungan kenyataan dan khayalan. Semua yang diungkapkan sastrawan dalam karya sastranya adalah hasil pengetahuan yang diolah oleh imajinasinya.
Sastrawan memperlakukan kenyataan dengan tiga cara yaitu, manipulasi, artifisial, interpretatif. Hanya kadar kenyataan dalam karya sastra yang berbeda untuk setiap karya sastra. Karya sastra yang bersifat biografis, otobiografis, historis, catatan perjalanan, kadar kenyataannya lebih dominan.
Karya sastra mempunyai nilai keindahan tersendiri. Karya sastra yang tidak indah tidak termasuk karya sastra. Setiap daerah, golongan, waktu menentukan nilai keindahan yang berbeda. Saat Siti Norbaya terbit, novel itu dianggap indah. Keadaannya menjadi lain seandainya novel itu diterbitkan sekarang.
Karya sastra adalah sebuah nama yang diberikan masyarakat kepada hasil karya seni tertentu. Hal ini mengisyaratkan adanya penerimaan secara mutlak oleh masyarakat sastra. Penerimaan bukan berarti karya sastra  harus mudah diterima oleh masyarakat dan sesuai dengan selera masyarakat. Hal itu akan merosokkan nilai sastra. Karya sastra yang baik juga tidak selalu sulit dipahami. Segala sesuatu yang dikatakan oleh masyarakat sastra sebagai karya sastra pada suatu masa pada hakikatnya bisa dikelompokkam sebagai karya sastra. Sebaliknya bagaimana pun baiknya suatu karya sastra berdasarkan obyeknya dan dimaksud oleh penulisnya sebagai karya sastra bila masyarakat sastra menolaknya maka hasilnya bukan karya sastra.
Drama adalah karya sastra yang didominasi oleh cakapan para tokoh. Kriteria drama yang membedakan dengan dua jenis karya sastra lainnya adalah hubungan manusia dunia ruang dan waktu.
5.        Tujuan Ilmu Kajian
Ilmu sastra telaah karya sastra secara ilmiah. Ilmu sastra membahas esensi ilmu sastra, sejarah dan perkembangan ilmu sastra, metode ilmiah sastra, yang harus dikembangkan ilmuwan atau calon ilmuwan sastra. Tujuan ilmu sastra sebagai berikut:
1.      Ilmu sastra sebagai sarana pengujian pemahaman ilmiah sastra sehingga manusia menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah sastra. Seorang ilmuwan sastra harus memili sikap kritis terhadap bidang ilmunya sendiri sehingga dapat menghindarkan diri dari  sifat solipsistik mengganggap hanya pendapatnya yang paling benar.
2.      Ilmu sastra merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan sastra. Kecenderungan yang terjadi di kalangan para ilmuwan sastra modern menerapkan suatu metode ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu sastra. Satu sikap yang diperlukan menerapkan metode ilmiah yang sesuai atau yang cocok dengan struktur ilmu sastra, bukan sebaliknya. Metode ilmu sastra hanya sarana berpikir bukan hakikat ilmu sastra.
3.      Ilmu sastra memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan sastra. Setiap metode ilmiah yang dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis–rasional agar dapat dipahami dan dipergunakan secara umum. Semakin luas penerimaan dan penggunaan metode ilmiah sastra, semakin valid metode tersebut.

3 komentar: